Monday 29 November 2010

SOAL UTS STAIN SURAKARTA TH 2010/2011

KEMENTERIAN AGAMA
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI SURAKARTA
JURUSAN TARBIYAH
Jl. Pandawa Pucangan Kartasura Sukoharjo, Phone (0271) 781516


Ujian                                       : UTS  2010/2011
Mata Kuliah                           : Civic Education
Jurusan                                  : Tarbiyah
Semester                              : 1
Bentuk Ujian                         : Take Home 1 Minggu
Tanggal Penyerahan           : 6 Desember 2010


  1. Jelaskan bagaimana hubungan antara identitas nasional dengan integrasi bangsa. Bagaimana bila hal itu dikaitkan dengan kondisi negara Indonesia yang multikultural? Upaya konkrit apa saja yang harus dilakukan agar tumbuh kesadaran sehingga bisa membentuk kepatuhan dan ketaatan akan identitas nasional kita?
  2. Coba saudara jelaskan keterkaitan antara negara, kelompok etnik dan konflik sosial! Bagaimana idealnya sebuah negara mengantisipasi dan mengatasi konflik sosial yang ditimbulkan oleh bentrokan antar kelompok etnik?
  3. Berikan satu contoh kasus sehingga seseorang bisa kehilangan kewarganegaraannya bila dikaitkan dengan masalah politik dan hankam di Indonesia!
  4. Bagaimana pendapat saudara tentang amandemen UUD 1945? Bagaimana pula pendapat saudara tentang hadirnya Mahkamah Konstitusi di Indonesia terkait dengan masalah penegakkan supremasi hukum di Indonesia?  Bagaimana agar Mahkamah Konstitusi dapat berfungsi dengan optimal dan kewenangan yang strategis serta tetap berada pada jalur yang benar?
  5. Jelaskan tentang Islam dan demokrasi di Indonesia! Apakah keduanya saling bertentangan ataukah saling melengkapi?


  • Jawaban yang sama antar mahasiswa atau ada indikasi sama, tidak akan diberi nilai.


Selamat Mengerjakan.

Sunday 24 October 2010

PROPOSAL OUTDOOR LEARNING PEMBELAJARAN PKn

PROPOSAL
STUDI LAPANGAN DALAM RANGKA OUTDOOR LEARNING
PEMBELAJARAN PKn KELAS X
SMK MUHAMMADIYAH 4 FARMASI SURAKARTA



A.           Latar Belakang Masalah
Studi lapangan adalah salah satu proses kegiatan pengungkapan fakta - fakta melalui  observasi dan wawancara dalam proses memperoleh keterangan atau data dengan cara terjun langsung ke lapangan (Field Study). Studi lapangan berguna untuk berbagai penelitian dan merupakan sejumlah cara ilmiah yang dilakukan dengan rancangan operasional dan dapat memberikan hasil yang lebih akurat untuk menghindari kesalahan penelitian serta dapat menambah pengalaman. Selain itu, dengan studi lapangan dapat diungkapkan fakta-fakta sebagai realisasi dari teori yang ada.
Terkait dengan proses pembelajaran, studi lapangan akan membantu guru dan siswa dalam mengungkap fakta terkait dengan materi pembelajaran di sekolah. Studi Lapangan tersebut merupakan salah satu bentuk Outdoor Learning (pembelajaran di luar kelas). Dengan demikian, siswa tidak hanya menerima teori yang bersifat taken for granted tetapi sesuai dengan kenyataan yang ada. Dengan Outdoor Learning diharapkan pembelajaran lebih bersifat kontekstual dan penuh makna serta tidak hanya terbatas dalam tembok sekolah. Selain itu bisa membantu peserta didik dalam berinteraksi social.
Pendidikan Pendidikan Kewarganegaraan (Civic Education) adalah merupakan mata pelajaran yang memfokuskan pada pembentukan diri yang beragam dari segi agama, sosio cultural, bahasa, usia dan suku bangsa untuk menjadi bangsa Indonesia yang cerdas, trampil, dan berkarakter yang dilandaskan oleh Pancasila dan UUD 1945 (Depdiknas,  2005: 33).
Kompetensi yang hendak diwujudkan melalui mata pelajaran Pendidikan Kewarganegaraan dibagi ke dalam tiga kelompok: 1) kemampuan untuk menguasai pengetahuan kewarganegaraan  atau civics knowledge, 2) kemampuan  untuk  memiliki   keterampilan kewarganegaraan atau civics skill,  dan 3) kemampuan untuk menghayati dan mengembangkan karakter kewarganegaraan atau civics virtue (Depdiknas, 2005: 38).
Untuk mewujudkan kompetensi tersebut maka mata pelajaran Pendidikan Kewarganegaraan dibedakan menjadi lima macam (1) fakta, (2) konsep, (3) prinsip, (4) prosedur, dan (5) nilai (Depdiknas, 2005 : 45). Terkait dengan Pokok Bahasan Sistem Hukum dan Peradilan Nasional dengan Standar Kompetensi menampilkan sikap positif terhadap sistem hukum dan peradilan nasional khususnya pada kompetensi dasar menganalisis peranan lembaga-lembaga peradilan, maka anak didik seharusnya memahami bagaimana peranan lembaga-lembaga peradilan di Indonesia  terkait dengan sistem hukum nasional sebagai sebuah fakta.
Sistem hukum nasional adalah suatu keseluruhan dari unsur-unsur hukum nasional yang saling terkait dalam rangka mencapai suatu masyarakat yang berkeadilan. Struktur hukum nasional meliputi lembaga-lembaga peradilan, aparatur penyelenggara hukum, mekanisme-mekanisme penyelenggaraan hukum, dan sistem pengawasan pelaksanaan hukum. Lembaga peradilan adalah suatu keseluruhan komponen peradilan nasional, pihak-pihak dalam proses peradilan, hierarki kelembagaan peradilan maupun aspek-aspek yang bersifat prosedural yang saling berkait sedemikian rupa, sehingga terwujud dalam suatu keadilan hukum.
Untuk menambah wawasan peserta didik serta mengungkap fakta tentang peranan lembaga peradilan terkait dengan pembelajaran Pendidikan Kewarganegaraan pada Standar Kompetensi sistem hukum nasional, maka perlu diadakan observasi dan wawancara langsung dengan lembaga terkait sehingga anak didik memahami materi materi pembelajaran secara nyata dan mampu memaknainya dengan tepat. Observasi dan wawancara tersebut dapat dilakukan dengan mengadakan Outdoor Learning yang dikemas dalam studi lapangan.
B.           Landasan Kegiatan
1.      Pancasila dan UUD 1945
2.      UU Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sisdiknas
3.      PP Nomor 19 Tahun 2005 tentang Standarisasi Pendidikan Nasional
4.      Permendiknas Nomor 22 Tahun 2006 tentang Standar Isi.
5.      Permendiknas Nomor 41 Tahun 2007 tentang Standar Proses.

C.           Maksud dan Tujuan Kegiatan
1.      Meningkatkan kualitas pembelajaran Pendidikan Kewarganegaraan di SMK Muhammadiyah 4 Surakarta.
2.      Memperluas wawasan peserta didik tentang system hukum dan peradilan nasional, khususnya tentang peranan lembaga peradilan dalam kaitannya dengan lembaga penegak hokum yang lain.
3.      Menumbuhkan sikap kritis peserta didik dalam mengkorelasikan dan memahami  fakta yang ada dalam masyarakat terkait dengan materi pembelajaran Pendidikan Kewarganegaraan di sekolah.
4.      Menumbuhkan dan mengembangkan keterampilan peserta didik untuk dapat berbicara dan mengungkapkan pendapat di depan umum dengan cara santun dan demokratis.
5.      Membantu dan melatih siswa dalam memaknai situasi dan kondisi terkait dengan masalah supremasi hokum di Indonesia.

D.          Nama dan Tempat Kegiatan
Adapun nama kegiatan ini adalah “Kunjungan Lapangan dalam Rangka Outing Class Mata Pelajaran Pendidikan Kewarganegaraan”.
Sedangkan tempat kegiatan di wilayah Surakarta yang direncanakan meliputi instansi berikut.
1.      Polsek Gendengan Surakarta
2.      Pengadilan Negeri Surakarta
3.      Rumah Tahanan Negara Kelas 1 Surakarta

E.           Pelaksanaan dan Materi Kegiatan
Pelaksanaan:
Hari / Tanggal            : Selasa,  26 Oktober 2010
Jam                           : 07.30 s/d selesai
         Materi:
Materi kegiatan Outdoor Learning dibagi dalam 3 bagian sebagai berikut.
1.      Peranan Kepolisian dalam menangani kasus hukum mulai dari penyelidikan, penyidikan hingga kasus dilimpahkan ke Pengadilan.
2.      Peranan Pengadilan Negeri dalam menangani kasus hukum dari mulai dilimpahkannya kasus dari kepolisian hingga jatuhnya putusan pengadilan.
3.      Peranan Rumah Tahanan  dalam menangani para narapidana selama menjalani masa hukuman di Rumah Tahanan..
Semua materi dikaitkan dengan pasal 24 ayat (1) dan pasal 27 ayat (1) UUD 1945, UU Nomor 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia dan UU Nomor 44 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman.

F.            Kepanitiaan dan Peserta Kegiatan
Panitia dalam kegiatan ini terdiri dari guru mata pelajaran Pendidikan Kewarganegaraan, wali kelas dan Wakasek Kesiswaan SMK Muhammadiyah 4 Surakarta. Sedangkan peserta dalam kegiatan ini adalah semua siswa kelas X SMK Muhammadiyah 4 Surakarta Program Keahlian Farmasi.    Panitia dan peserta Outdoor Learning keseluruhannya berjumlah 75 orang.
   Susunan panitia dan peserta terlampir.

G.          Anggaran Kegiatan
         Sumber Dana :
1.   SMK Muhammadiyah 4 Surakarta
2.   Donatur orangtua murid
         Anggaran Kegiatan terlampir.
H.          Penutup
Demikianlah proposal ini dibuat sebagai bahan referensi umum dari pelaksanaan kegiatan ini dan untuk disampaikan kepada pihak-pihak terkait.  Kami berharap atas  peranan dan partisipasi semua pihak demi suksesnya  kegiatan ini sebagai bentuk dedikasi kami selaku pelaku pendidikan di tingkat sekolah. Atas perhatiannya kami sampaikan banyak terimakasih.
    
Surakarta, 12 Oktober 2010

Pelaksana Outdoor Learning
SMK Muhammadiyah 4 Surakarta 2010

Guru Mata Diklat,


Rahayuningsih, S.Pd, M.Pd
NIP. 19700330 200801 2 010

Menyetujui,
Wakasek Kurikulum,                                                                      Wakasek Kesiswaan,


Moh. Dawam                                                                                Tofiq Nugroho, S.Pd
NIP.                                                                                               NIP.

Mengetahui
Kepala SMK Muhammadiyah 4 Surakarta,


Dra. Elly Elliyun
NIP. 19610926 198703 2 004



Lampiran :

OUTDOOR LEARNING PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN
SISWA SMK MUHAMMADIYAH 4 SURAKARTA
DI RUHAH TAHANAN KELAS I  SURAKARTA.

MATERI:
Materi Outdoor Learning ini adalah segala sesuatu yang terkait dengan aktifitas  di Rumah Tahanan, misalnya kegiatan rutin di Rumah Tahanan, baik kegiatan petugasnya maupun kegiatan para tahanan.

RENCANA HAL-HAL YANG DITANYAKAN:
1.      Kami belum memahami dengan benar perbedaan Rumah Tahanan dan Lembaga Pemasyarakatan. Kami bahkan mengiranya sama.  Mohon penjelasannya. Mohon juga dijelaskan tentang ”Kelas I” yang ada di belakang kata Rumah Tahanan Negara. Apakah itu menunjukkan struktur tertentu atau  artinya ada Kelas II, Kelas III atau bagaimana?
2.      Berapa penghuni Rutan pada saat ini? Prosentase terbesar ada pada  kasus apa? Bagaimana dengan napi yg masih usia sekolah? Apa mereka ada fasilitas khusus utk tetap bisa relajar seperti layaknya mereka sekolah di pendidikan formal?
3.      Bagaimana kiat  petugas Rutan agar para napi di dalam rutan tidak berbuat yang aneh-aneh atau neko-neko seperti tawuran, berantem dan lain-lain, agar mereka mampu manyadari kesalahannya, bisa saling menghormati dan menghargai baik sasama napi maupun terhadap petugas serta tidak akan mengulangi kesalahannya lagi ketika mereka keluar Rutan nanti? Apa masalah terbesar yang dihadapi Rutan terkait dengan tingkah laku para napi?
4.      Ada berita dari ANTARA bahwa Rutan Kelas I Surakarta mendirikan pondok pesantren yang bernama  Daarul Qur’an sebagai proyek percontohan Departemen Hukum dan HAM dalam pembinaan narapidana. Benarkah berita tersebut? Kalau benar, bagaimana perkembangannya hingga saat ini? Bila tidak benar, apakah Rutan punya rencana untuk pendirian pondok tersebut? Apa yang melatarbelakanginya? Bagaimana pembinaan terhadap penganut agama selain Islam?
5.      Tentang hak politik Napi khususnya hak pilih, apakah ada kampanye dari partai politik tertentu atau hanya berupa pengarahan dari petugas secara umum? Apakah mereka benar-benar dibebaskan untuk menggunakan hak pilih mereka atau ada tekanan-tekanan tertentu?
6.      Para narapidana setelah bebas dari Rumah Tahanan dalam hal mencari pekerjaan tidak mendapatkan suatu kemudahan, karena kurang adanya rasa kepercayaan masyarakat terhadap narapidana setelah, hal ini menunjukkan bahwa para narapidana keberadaannya kurang dapat diterima di masyarakat, sehingga mereka banyak yang kembali melakukan tindak kejahatan atau bahkan tingkat kejahatan yang dilakukannya cenderung meningkat.
Bagaimana upaya Rutan untuk  bisa mengembalikan kepercayaan masyarakat terhadap mantan napi dan bagaimana upaya Rutan dalam  mengintegrasikan narapidana di  lingkungan masyarakat sehingga masyarakat menerima keberadaan mereka? Hal-hal nyata apa saja yang sudah dilakukan dan bagaimana hasilnya?
7.      Apakah perlakuan petugas terhadap tahanan sudah mencerminkan pelaksanaan pasal 24 (1) yaitu  persamaan kedudukan warga negara dalam hukum dan pemerintahan, tidak diskriminatif dan mencerminkan penghormatan dan penegakan HAM. Ada rumor di masyarakat dan juga pemberitaan di berbagai media bahwa tahanan yang berduit banyak akan mendapat fasilitas dan perlakuan khusus dalam Rutan. Bagaimana yang sebenarnya?
8.      Tentang penempatan narapidana, apakah mereka ditempatkan sesuai dengan kasus mereka (misalnya kasus tipikor, tawuran, narkoba, kriminal dan lain2), berdasarkan usia mereka  atau bagaimana?  
9.      Perlakuan terhadap tahanan yang sudah berstatus terpidana apakah sama atau berbeda dengan tahanan yang masih berstatus tersangka atau terdakwa? Bagaimana juga sebutan terhadap mereka, tahanan atau narapidana? Bagaimana bila hal tersebut dikaitkan dengan asas presumption of innocence?
10.   Terkait pembinaan terhadap narapidana, apakah Rutan tetap menjalin  hubungan baik  antara Rutan dengan mantan napi misalnya dengan mengadakan event tertentu, termasuk membantu mereka apabila mereka mengalami kesulitan ataukah bila napi sudah lepas berarti lepas juga tanggung jawab Rutan?

Mohon Maaf dan Terimakasih Atas Kerjasamanya

Saturday 23 October 2010

OUTDOOR LEARNING PEMBELAJARAN IPS KELAS X

MATERI & TUGAS
PEMBELAJARAN DI LUAR KELAS (OUTDOOR  LEARNING) IPS
KELAS X PROGRAM KEAHLIAN FARMASI
SMK MUHAMMADIYAH 4 SURAKARTA
SABTU, 23 OKTOBER 2010


Standar Kompetensi :
1. Memahami Kehidupan sosial manusia.
1.1  Mengidentifikasi interaksi sebagai proses sosial
1.2  Mendeskripsikan sosialisasi sebagai proses pembentukan kepribadian
1.3  Mengidentifikasi bentuk-bentuk interaksi sosial

LOKASI DAN SUMBER DATA:
      Lokasi             :
      Sepanjang jalan Slamet Riyadi Surakarta, khususnya depan     SMK Muhammadiyah 4 Surakarta hingga Pusat Perbelanjaan Solo Square.
      Sumber Data  :
      Para pedagang asongan, pengamen, peminta-minta, pembeli, polisi, pertugas parkir, tukang becak, pemakai jalan dan lain-lain.

MATERI
Pengertian Interaksi sebagai Proses Sosial
Manusia dalam hidup bermasyarakat, akan saling berhubungan dan saling membutuhkan satu sama lain. Kebutuhan itulah yang dapat menimbulkan suatu proses interaksi sosial.
Maryati dan Suryawati (2003: 22) menyatakan bahwa interaksi sosial adalah kontak atau hubungan timbal balik atau interstimulasi dan respons antar individu, antar kelompok atau antar individu dan kelompok. Pendapat lain dikemukakan oleh Murdiyatmoko dan Handayani (2004: 50) yaitu interaksi sosial adalah hubungan antar manusia yang menghasilkan suatu proses pengaruh mempengaruhi yang menghasilkan hubungan tetap dan pada akhirnya memungkinkan pembentukan struktur sosial. Interaksi positif hanya mungkin terjadi apabila terdapat suasana saling mempercayai, menghargai, dan saling mendukung (Siagian, 2004:  216).
Berdasarkan definisi di atas maka, dapat disimpulkan  bahwa interaksi sosial adalah suatu hubungan antar sesama manusia yang saling mempengaruhi satu sama lain baik itu dalam hubungan antar individu, antar kelompok maupun atar individu dan kelompok.

Macam-Macam Interaksi Sosial
Menurut Maryati dan Suryawati (2003: 23),  interaksi sosial dibagi menjadi tiga macam, yaitu:
1. Interaksi antara individu dan individu.
2. Interaksi antara individu dan kelompok
3. Interaksi sosial antara kelompok dan kelompok

Bentuk-Bentuk Interaksi Sosial
Berdasarkan pendapat Tim Sosiologi (2002: 49), interaksi sosial dikategorikan ke dalam dua bentuk:
1.      Interaksi sosial yang bersifat asosiatif, yakni yang mengarah kepada bentuk - bentuk asosiasi (hubungan atau gabungan) seperti :
a.       Kerja sama
b.      Akomodasi
c.       Asimilasi
d.   Akulturasi
2.  Interaksi sosial yang bersifat disosiatif, yakni yang mengarah kepada bentuk - bentuk pertentangan atau konflik, seperti :
            a.   Persaingan
            b.   Kontravensi
            c.   Konflik

 TUGAS SISWA
1.      Amati keadaan di sekitar Anda dengan seksama. Kemudian berikan opini Anda tentang interaksi sosial yang terjadi di lokasi tersebut bila dibandingkan dengan interaksi sosial yang terjadi di sekolah Anda, ditinjau dari macam-macam dan bentuk interaksi sosial.
2.      Dengan melakukan observasi dan interview (wawancara), galilah data sebagai berikut.
a.       Kegiatan manakah yang termasuk dalam interaksi antara individu dan individu, interaksi antara individu dan kelompok serta interaksi sosial antara kelompok dan kelompok ? Berikan penjelasan beserta contohnya!
b.      Kegiatan manakah yang termasuk dalam bentuk interaksi asosiatif dan interaksi disasosiatif? Berikan penjelasan beserta contohnya!
3.      Galilah data dari responden, apakah pernah terjadi konflik di antara mereka. Konflik apa saja dan apa yang menjadi penyebabnya?
Menurut pendapat Anda, mengapa dalam interaksi sosial yang Anda amati lebih mudah mengarah ke interaksi disasosiatif khususnya konflik dan upaya apa saja yang harus dilakukan untuk mengantisipasi agar tidak terjadi konflik.

Selamat Bekerja & Sukses untuk Anda

Friday 15 October 2010

Pendidikan Humanis Religius

Istilah pendidikan humanis religious mengandung dua konsep pendidikan yang ingin diintegrasikan yaitu pendidikan humanis dan pendidikan religious. Pengintegrasian dua konsep pendidikan ini dengan tujuan untuk dapat membangun system pendidikan yang dapat mengintegrasikan dari keduanya atau mengurangi kelemahannya. Pendidikan humanis yang menekankan aspek kemerdekaan individu diintegrasikan dengan pendidikan religious agar dapat membangun kehidupan individu dan social yang memiliki kemerdekaan, tetapi dengan tidak meninggalkan (sekuler) dari nilai-nilai keagamaan yang diikuti masyarakatnya, atau menolak nilai ke’Tuhanan (ateisme).
Dalam sebuah negara, masalah pendidikan selalu menjadi isu yang sangat penting sehingga melahirkan berbagai macam pendapat dan perdebatan mengenai arah dan orientasi pendidikan, bagaimana pendidikan direncanakan dan dilaksanakan, dievaluasi, dan seterusnya. Pendeknya, pendidikan merupakan isu strategis yang turut menentukan kualitas sebuah bangsa. Pendidikan diharapkan dapat bernilai sebagai proses 'pembelajaran' sekaligus sebagai 'pemberdayaan' kemampuan (ability) dan kesanggupan (capability) peserta didiknya. Dalam proses pendidikan ada upaya untuk mengembangkan potensi manusia, baik secara jasmani, rohani maupun akal. Pada hakikatnya, keseluruhan potensi manusia yang dikembangkan dalam pendidikan tersebut bertujuan agar manusia dapat melaksanakan kehidupannya dengan baik, bermanfaat bagi dirinya, masyarakatnya dan juga bagi negaranya.
Pendidikan dipercaya menjadi alat dan proses yang paling efektif untuk mencapai kehidupan yang lebih baik di masa kini dan masa yang akan datang. John Dewey dalamn Democratic and Education menyatakan tentang fungsi penting pendidikan : ”Education is thus a fostering, a nurturing, a cultivating, process. All of these words mean that it implies attention to the conditions of growth.” (John Dewey, 1916). Pendidikan juga merupakan pembelajaran tentang kehidupan manusia di dalam beragam fungsi dan kebutuhan. Dalam pembelajaran terkandung upaya pemenuhan fungsi-fungsi sosial, ekonomi, politik, selain beragam kebutuhan material dan spiritual manusia (Steven M.Chan, 1979: xi). Menurut Paulo Freire (1995 : 54) bahwa pendidikan harus dipahami sebagai upaya mengembangkan manusia sebagai makhluk berkesadaran (corpo consciente), bukan untuk menjadikan manusia sebagai benda terkendali (automaton), pendidikan yang menjadikan manusia sebagai benda terkendali adalah suatu perbuatan yang bersifat kontraproduktif terhadap fitrah ontologis manusia. Pendidikan bertujuan untuk mengembangkan seluruh potensi manusia secara optimal, yaitu berupa pengembangan seluruh komponen kemanusiaannya, yaitu upaya pengembangan akal, rasa dan fisik (ranah kognitif, afektif dan psikomotorik).
Bagaimana dengan pendidikan di Negara kita, Indonesia? Pendidikan di Negara Indonesia diharapkan bersifat humanis religious sesuai dengan cita-cita pendidikan nasional, di mana dalam pengembangan kehidupan ilmu pengetahuan tidak terlepas dari nilai-nilai keagamaan dan kebudayaan. Masyarakat mestinya menghargai nilai-nilai keagamaan dan kebudayaan sebagai sumber membangun kehidupan yang harmonis di antara bermacam-macam etnik, kelompok, social, dan daerah.
Kehidupan masyarakat Indonesia yang majemuk sangat rentan terhadap berbagai konflik social (seperti etnisitas, strata social, pengangguran, kejahatan, kebodohan) yang dapat menimbulkan disintegrasi bangsa. Oleh karenanya pemecahan masalah social tersebut harus menggunakan nilai keagamaan dan kemanusiaan sebagai dasar kearifan untuk mencari cara pemecahannya, di samping cara yang bersifat ilmiah pragmatis. Sehingga sudah semestinya pendidikan kita kembali ke cita-cita semula yang sesuai dengan konsep humanis religious, baik dalam teori maupun implementasinya di lapangan pendidikan (institusi).
Terkait dengan penerapan konsep pendidikan humanis religious, pendidikan di Indonesia pada saat ini ada dalam posisi yang dilematis : di satu sisi pendidikan dituntut untuk dapat menjadi instrument yang harus memberdayakan, membebaskan, dan mengangkat harkat dan martabat anak didik kepada taraf yang lebih humanis religious, namun di sisi lain pendidikan dituntut untuk mampu menjawab tantangan modernism sehingga muncul gagasan “ Memordenisasi Pendidikan”.

Selain itu pendidikan Indonesia masih menghadapi berbagai problematika, sehingga menurut Eko Budihardjo, membahas pendidikan Indonesia bagaikan mengupas bawang : semakin dikupas, maka semakin banyak air mata yang mengalir (Harian Suara Merdeka, 12 Desember 2005 ). Problematika tersebut terlihat dari kualitas lulusan pendidikan yang rendah, banyaknya pelanggaran moral dan etika dalam dunia pendidikan Indonesia (baik yang dilakukan oleh peserta didik maupun guru), banyak terjadi ‘pembodohan dalam pendidikan” karena proses pendidikan yang tidak memberi kesempatan peserta didik untuk berkembang dan bersifat indoktrinatif, orientasi pada hafalan pengetahuan daripada penemuan dan pengembangan pengetahuan, kebijakan pendidikan yang bias dalam evaluasi pendidikan (misalnya pemberlakukan UASBN dan Ujian Nasional), dan sebagainya. Muara dari berbagai problem pendidikan Indonesia adalah peserta didik tidak diberi kesempatan untuk mengembangkan seluruh potensinya, baik individualitas (individuality), sosial (sociality), kesusilaan (morality), dan keagamaan (religiuosity) yang dimilikinya.

Oleh karena itu, pendidikan humanis-religius yang secara konsepsi sudah dimiliki oleh bangsa Indonesia, harus diaplikasikan dalam praktek pendidikan. Abdurrahman Mas’ud (2002 : 144-150) menyatakan bahwa paradigma pendidikan yang humanis religius perlu dibangun dan dikembangkan dalam proses pendidikan di Indonesia, hal-hal berikut adalah merupakan motif dan paradigm yang sampai saat ini masih menjadi fenomena social, yaitu : (1) Keberagamaan yang cenderung menekankan pada hubungan vertical dan kesemarakan ritual, (2) Sebagai akibat dari hal tersebut, maka kesalehan social masih jauh dari orientasi masyarakat kita, (3) Potensi peserta didik belum dikembangkan secara proporsional, pendidikan belum berorientasi pada pengembangan sumber daya manusia atau individual oriented. (4) Kemandirian anak didik dan tanggungjawab (responsibility) masih jauh dari capaian dunia pendidikan. Berdasarkan pemikiran di atas, maka humanisme religious dalam pendidikan paling tidak memuat enam prinsip dasar, yaitu : common sense, individualism menuju kemandirian, thirst of knowledge, pendidikan pluralisme, kontekstualisme yang lebih mementingkan fungsi daripada symbol, dan keseimbangan antara reward and punishment.
Bagaimana dengan pendidikan di sekolah Anda? Apakah sudah menerapkan konsep humanis religius, humanis sj atau religius sj atau bahkan tidak dua2nya? Itu bukan hal penting, yg utama adl bagaimana kt bs mengkondisikan agar sekolah sbg learning organization benar2 mencerminkan konsep humanis religius dlm sgl aspeknya, baik secara struktural, kultural maupun interaksional. Bravo untuk pendidikan kita...!
 
DAFTAR PUSTAKA
Brown. Leslie M. (1970). Aims of Education. New York : Teachers College Press.
Budihardjo, Eko. Pendidikan Kita : Konsep dan Realitas dalam Harian Suara Merdeka, 12 Desember 2005 
Danim, Sudarwan. (2006). Agenda Pembaharuan Sistem Pendidikan. Yogyakarta : Pustaka Pelajar.
Edwords, Frederick dalam “What is Humanism” dalam www.skepticfiles.org/human/humanism.htm
Freire, Paulo, (1995).  Pendidikan Kaum Tertindas . terj. Tim Redaksi LP3ES, Jakarta : LP3ES.
Freire, Paulo. (2001). Politik Pendidikan: Kebudayaan, Kekuasaan dan Pembebasan. terj. Agung Prihantoro dan Fuad Arif Fudiyartanto. Yogykarta : Pustaka Pelajar & READ.
Fullan, Michael G. 1982. The Meaning of Educational Change. New York : Cassel.
Hall, Edward T.1959. The Silent Language.New York : Anchor Books.
Knight, George R. (2007). Filsafat Pendidikan. Terj. Mahmud Arif. Yogyakarta : Gama Media.
Mahfud, Choirul. 2006.Pendidikan Multi Kultural. Yogyakarta : Pustaka Pelajar.
Maman Baehafi, 2008. Artikel Islam: Pendidikan dalam Perspektif Alquran http://warnadunia.com/artikel-islam-pendidikan-dalam-perspektif-alquran/) akses 9 April 2009.
John Dewey.(1916). Democracy and Education. Macmillan Company
Lamont, Corliss, (1977). The Philosophy of Humanism.
Mas’ud, Abdurrahman. (2002). Menggagas Pendidikan Nondikotomik, Yogyakarta : Gama Media.
Sastrapratedja, Michael, dalam pidato pengukuhan guru besar ilmu filsafatnya di STF (Sekolah Tinggi Filsafat) Driyarkara, Jakarta, Sabtu 8 Maret 2006.
Schultz, Duane. Psikologi Pertumbuhan: Model - Model Kepribadian Sehat. Jogjakarta: Kanisius, 1991.
Setiawan, Imam . Pendidikan Humanistik dalam http://www.kompas.co.id/kompas-cetak/0704/19/opini/3464078.htm
Subhan . Paradigma Pendidikan Islam : Kajian Normatif Teks al Qur`an tentang Humanisme.(http://wonkeducationnetwork.blogspot.com/2007/03/paradigma-pendidikan-islam-).
Undang-Undang No. 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas)
Yaqin, M.Ainul. (2005). Pendidikan Multikultural. Yogyakarta : Pilar Media.

Friday 8 October 2010

Pendidikan Politik: Praksis Pendidikan Kewarganegaraan

PENDIDIKAN POLITIK PADA SISWA
SEKOLAH MENENGAH ATAS
(Kajian Fenomenologis tentang Interpresi  Siswa terhadap Pendidikan Politik)

A.       Pendahuluan
       Menciptakan warganegara yang dicita-citakan oleh setiap Negara di dunia merupakan hal yang sangat penting sehingga dibutuhkan suatu kebijakan  pendidikan  tertentu. Inti dari kebijakan pendidikan adalah hasil-hasil pendidikan yang optimal (Noeng Muhadjir, 2004 : v). 
       Pendidikan adalah upaya terprogram dari pendidik membantu subyek didik berkembang ke tingkat yang normatif lebih baik dengan cara yang normatif juga baik (Noeng Muhadjir, 2003: 9). Tujuan normatif bukan dimaksudkan agar semua perkembangan subyek didik mengarah ke nilai, melainkan dimaksudkan agar semua aktivitas ataupun upaya  terpogram apabila dimasuki kreteria nilai secara normatif tetap diterima. Hal ini berarti bahwa setiap program yang disajikan hendaknya telah mengimplikasikan nilai di dalamnya (Noeng Muhadjir, 2003: 10). 
       Alfian (1986: 235) mendefinisikan pendidikan politik  sebagai usaha yang sadar untuk mengubah proses sosialisasi politik masyarakat sehingga mereka memahami dan menghayati betul nilai-nilai yang terkandung dalam suatu sistem politik yang ideal yang hendak dibangun. Keberhasilan proses pendidikan politik pada suatu bangsa sangat dipengaruhi oleh institusi pendidikan, yaitu sekolah. Baik melalui pembelajaran atau proses belajar mengajar, kepemimpinan dan manajemen sekolah maupun kultur sekolah .
Hal yang sangat menarik tentang pendidikan politik ini adalah sekolah menengah, karena masa sekolah menengah adalah bagian dari masa hidup dimana psikologi maksimal dan perubahan sosial itu terjadi. Niemi Hepburn, 1995 dalam Prough (2008 : 4-5) berpendapat bahwa : “individuals probably experience more change in their political views between the ages of fourteen and twenty-five than at any other point in their lives”.
            T.H. Marshall (1950: 21) mengungkapkan bahwa anak-anak dan generasi muda merupakan citizen in the making, artinya generasi muda belum menjadi warga negara dalam arti yang sesungguhnya. Sehingga setiap negara harus berusaha melaksanakan nation and character building sebagai upaya melaksanakan pendidikan  untuk membentuk warga negara yang dicita-citakan.
           Terkait dengan masalah pendidikan politik di sekolah, penulis tertarik untuk melakukan penelitian di SMA Pangudi Luhur Santo Yosef Surakarta. Ketertarikan ini didasari adanya keunikan-keunikan di sekolah tersebut yang tidak dimiliki sekolah lain. Keunikan tersebut misalnya SMA Pangudi Luhur Santo Yosef Surakarta merupakan sekolah yang berciri khas Katholik, tetapi multi religi, multi etnik dan multikultur. Selain itu, lokasi SMA Pangudi Luhur Santo Yosef yang terletak di Surakarta semakin menarik untuk diteliti terkait dengan karakteristik sosial budaya Surakarta yang saling berkontroversi, yakni terkenal santun dan lembut tetapi bersumbu pendek.
       Untuk memahami fenomena tentang pendidikan politik di SMA tersebut, diperlukan kajian fenomenologis tentang pemaknaan (meaning) siswa  terhadap pendidikan politik.
B.       Kebermaknaan Pendidikan Politik
       Ada keterkaitan yang erat antara pendidikan dan pendidikan politik. Dewey dalam Democratic and Education (1916) menyatakan tentang  fungsi penting  pendidikan : ”Education is thus a fostering, a nurturing, a cultivating, process. All of these words mean that it implies attention to the conditions of growth.” Pendidikan juga merupakan  pembelajaran tentang kehidupan manusia di dalam beragam fungsi dan kebutuhan. Dalam pembelajaran terkandung upaya pemenuhan fungsi-fungsi sosial, ekonomi, politik, selain beragam kebutuhan material dan spiritual manusia (Steven M.Chan, 1979: xi).
       Adapun fungsi pendidikan menurut Noeng Muhadjir, (2003: 20) adalah : (1) menumbuhkan kreativitas subjek-didik, (2) memperkaya khasanah budaya manusia, memperkaya isi nilai-nilai insani dan nilai-nilai Illahi, (3) menyiapkan tenaga kerja produktif.
Terkait dengan masalah pendidikan politik, maka  fungsi pendidikan kedua yang dikemukakan oleh Noeng Muhadjir tersebut selaras dengan tujuan pendidikan untuk membentuk warga Negara yang baik. Warga Negara yang baik (good citizen) dalam perspektif global sebagaimana dikemukakan oleh Dynneson, Gross & Nickel (1989: 74) adalah sebagai berikut:  A “good citizen” is one who cares about the welfare of others,  is ethical in his dealing with others, is able to challenge and critically question ideas, proposal and suggestions, and in light of existing circumstances, is able to make good choices based upon good judgements.
Penulis berasumsi bahwa akibat pengalaman sejarah selama orde baru, ditambah dengan semakin melemahnya dukungan terhadap struktur-struktur politik yang ada pada system politik, masyarakat mengalami political alienation sebagai dampak dari tingginya tingkat political disaffection. Masyarakat mempunyai anggapan negative dan skeptic serta sinis terhadap politik, termasuk pendidikan politik. Padahal ada beberapa hal penting yang terkait dengan politik. Pertama, mau tidak mau kita tidak bisa lepas dari politik. Kedua, berbagai kesulitan yang dihadapi dunia modern tidak dapat dipecahkan dengan meninggalkan politik, tetapi mengadakan transformasi sedemikian rupa sehingga memungkinkan kita membentuk dan mengorganisir kehidupan secara efektif. Ketiga, sikap sinis dan skeptic terhadap politik bukan hal yang tak terhindari.
  Sampai saat ini menurut penulis, pendidikan politik melalui sekolah belum berhasil membentuk good citizens. Kriteria warga negara yang baik (good citizens) dalam perspektif global sebagaimana dikemukakan oleh Dynneson, Gross & Nickel (1989:74) adalah sebagai berikut.
A “good citizen” is one who cares about the welfare of others,  is ethical in his dealing with others, is able to challenge and critically question ideas, proposal and suggestions, and in light of existing circumstances, is able to make good choices based upon good judgements.

      Pendidikan politik bukan merupakan proses sederhana dan mudah. Gaffar (2006:119-120) berpendapat, bahwa secara umum, kegagalan pendidikan politik di Indonesia disebabkan tiga hal. Pertama, dalam masyarakat kita, anak-anak tidak dididik untuk menjadi insan mandiri. Kedua, tingkat politisasi sebagian terbesar masyarakat kita sangat rendah. Ketiga, setiap individu yang berhubungan secara langsung dengan Negara tidak mempunyai alternative lain kecuali mengikuti kehendak Negara, termasuk pendidikan politik di sekolah.
      Keberhasilan proses pendidikan politik pada suatu bangsa sangat dipengaruhi oleh institusi pendidikan, yaitu sekolah. Baik melalui pembelajaran atau proses belajar mengajar, kepemimpinan dan manajemen sekolah serta kultur sekolah . Hal ini sesuai dengan yang dikemukakan  Zamroni  (2001: 148), bahwa sekolah sebagai suatu sistem memiliki tiga aspek pokok yakni : proses belajar mengajar, kepemimpinan dan manajemen sekolah, serta kultur sekolah.
      Menurut Buchori (1995 : 127), secara metodologi, sosialisasi politik bisa dilakukan melalui dua hal yaitu pendidikan politik dan indoktrinasi politik. Untuk sosialisasi politik di Indonesia pada saat ini seharusnya mengarah pada pendidikan politik, bukan indoktrinasi politik sebagaimana yang pernah dilakukan pada orde lama dan orde baru. Materi pokok penyelenggaraan pendidikan politik tentang wawasan kebangsaan meliputi : 1) pilihan materi dari sejarah nasional, 2) pilihan materi dari situasi nasional kontemporer, 3) pilihan materi dari situasi dari beberapa negara lain, dan 4) pilihan materi dari berbagai proyeksi tentang masa depan.
      Pendidikan politik mempunyai makna sebagai  proses internalisasi nilai-nilai dan norma-norma dasar ideology  Negara guna menunjang kelestarian Pancasila dan UUD 1945 sebagai budaya politik bangsa demi tetap tegaknya Negara Kesatuan Republik Indonesia. Dalam Negara plural, pendidikan politik dapat mencegah konflik yang mengancam dis integrasi bangsa dan dapat mengatasi ketidakpercayaan masyarakat terhadap politik. Pendidikan politik dapat meningkatkan partisipasi politik warganegara, dapat membangun mekanisme baru integritas nasional. serta dapat mempertebal semangat cinta tanah air yang semakin memudar di kalangan masyarakat.
      Namun pemaknaan pendidikan politik tersebut  bisa berbeda dengan pemaknaan oleh siswa. Mereka bisa mempunyai interpresi sendiri, misalnya apa konsep pendidikan politik, seperti apa seharusnya pendidikan politik dilaksanakan, mengapa perlu pendidikan politik, bagaimana model pendidikan politik, siapa saja sasaran pendidikan politik, siapa agen pendidikan politik, dan sebagainya.
      Sekolah sebagai agen pendidikan politik diharapkan dapat menunjang pencapaian tujuan pembangunan politik, yakni peningkatan partisipasi warganegara dalam proses politik dan membangun mekanisme baru integritas nasional. Dengan demikian diharapkan akan tercipta suatu system politik yang kondusif yang sesuai dengan landasan falsafah Negara, yaitu Pancasila.
      Untuk memperoleh hasil yang optimal dan sesuai dengan tujuan penelitian, perlu disusun suatu kerangka konseptual yang nantinya dapat digunakan sebagai petunjuk dan arah bagi kajian-kajian teori yang dilakukan sebelumnya. Kerangka konseptual tersebut bisa dilihat pada gambar berikut. (Wah...sayangnya saya belum bisa naruh gambar'nya. Maklum...masih baru belajar. Masih harus belajar lagi & barangkali ada yg mo berbaik hati ngajari.)

C.     Metode Penelitian
Paradigma penelitian yg digunakan adalah penelitian kualitatif karena penelitian ini memandang kenyataan sebagai sebuah keutuhan makna yang tidak dapat dipecah-pecah dalam variabel. Kejadian-kejadian dalam ruang dan waktu merupakan satuan-satuan penyusun kenyataan yang ada (Kattsoff, 1996 : 216).
Hal ini sesuai dengan pendapat Marshall dan Rossman (1989), yang menyatakan bahwa untuk meneliti suatu proses diperlukan pendekatan kualitatif. Selain itu, penggunaan pendekatan ini dimaksudkan untuk memahami perilaku manusia dari kerangka acuan si pelaku sendiri, yakni bagaimana si pelaku memandang dan menafsirkan kegiatan dari segi pendiriannya yang biasa disebut “persepsi emic” (Nasution, 196: 32; Hakim, 1997: 26).
Tentang paradigm penelitian kualitatif ini Noeng Muhadjir (1994: 12),  mengemukakan ada beberapa nama yang dipergunakan para ahli tentang metodologi  penelitian kualitatif yaitu: grounded research, ethnometodologi, paradigma naturalistic (fenomenologi), interaksi simbolik, semiotik, heuristik, hermeneutik, atau holistik . perbedaan tersebut dimungkinkan karena perbedaan titik tekan dalam melihat permasalahan serta latar brlakang disiplin ilmunya
Penelitian ini menggunakan pendekatan phenomenology karena mempelajari peristiwa cultural yang menjadikan pandangan hidup subjek yang menjadi objek studi. Phenomenology yang digunakan adalah  model Focus Groups  yang mengangkat pendapat grass root, dikembangkan menjadi ada intervensi peneliti kepada grass root (Noeng Muhadjir, 2007: 202-203).
Secara teknis, model focus groups dilakukan dengan membentuk organisasi small groups, yaitu dengan cara membuat intervensi langsung lewat pimpinan kelompok kecil 4 atau 8 siswa yang terpilih sebagai grass root untuk menyampaikan ide-ide pembaharuan tentang pendidikan politik di sekolah mereka. Intervensi ini dilakukan dalam bentuk text reading dan/atau ceramah dan diskusi berkelanjutan dengan individu dan kelompok terpilih sebagai representasi grass root hingga terjadi kesepakatan.
D.       Penutup.
Untuk memperoleh data awal, peneliti telah melakukan pra survey di SMA Pangudi Luhur Santo Yosep dengan metode observasi dan wawancara. Observasi dilakukan pada aspek manajemen kepala sekolah dan kultur sekolah, sedangkan wawancara dilakukan pada aspek proses belajar mengajar. Peneliti telah mewawancarai seorang guru PKn dan dua orang siswa yang beretnik Jawa dan Tionghoa sebagai responden. Dengan memahami pemaknaan siswa terhadap pendidikan politik, maka peneliti bisa memfasilitasi sekolah ke arah internalisasi nilai dalam diri siswa ke arah pemaknaan yang lebih objektif (proporsional), yaitu  bahwa pendidikan politik sangat dibutuhkan demi stabilitas dan tetap tegaknya Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Daftar Pustaka

Alfian (1986). Pemikiran dan Perubahan Politik Indonesia. Jakarta : CV Rajawali

Bogdan & Robert C. 1982. Qualitative Research for Education : An Introduction to theory and Methods. Inc. Boston London Sydney Toronto : Allyn and Bacon.

Dawson, Richard E., Kenneth Prewitt, and Karen S.Dawson. 1977. Political Socialization. Boston : Little, Brown.

Dennis, Jack, ed. Socialication to Politics. 1973. New York : John Wiley.

Easton, David and Jack Dennis. 1969. Children in the Political System. New York : McGraw-Hill

Hyman, Herbert H. 1959. Political Socialization. New York : The Free Press.

Marshall, T.H. (1950). Citizenship and Social Class and Other Essays. Cambridge: Cambridge University Press.

Muhadjir, Noeng. (2003). Ilmu Pendidikan dan Perubahan Sosial. Edisi V.  Yogyakarta: Rake Sarasin

Muhadjir, Noeng.  (2007). Metodologi Keilmuan Paradigma Kualitatif, Kuantitatif dan Mixed. Edisi V. Yogyakarta : Rake Sarasin

Muhadjir, Noeng.  (2006). Filsafat Ilmu Kualitatif dan Kuantitatif untuk Pengembangan Ilmu dan Penelitian. Yogyakarta : Rake Sarasin

Muhadjir, Noeng.  (2009). Revitalisasi Ontologik Ideologi Pendidikan Implikasi dan Implementasinya. Hand Out Mata Kuliah Fenomenologi Pendidikan.

Zamroni. 2008. “Demokrasi dan Pendidikan dalam Transisi: Perlunya Reorientasi Pengajaran Ilmu-Ilmu Sosial di Sekolah Menengah