Tuesday 19 April 2011

KONSEP MENGAJAR & PENGAJARAN


Pandangan mengenai konsep mengajar dan pengajaran terus mengalami perubahan sesuai dengan perkembangan dan kemajuan ilmu pengetahuan.      Menurut Pupuh dan Sobry (2007:8), “mengajar adalah penciptaan sistem lingkungan yang memungkinkan proses belajar”. Sistem lingkungan ini terdiri dari komponen-komponen yang saling mempengaruhi, yakni tujuan yang ingin dicapai, materi yang diajarkan, guru dan siswa yang memainkan peranan serta ada dalam hubungan sosial tertentu, jenis kegiatan yang dilakukan, serta sarana dan prasarana belajar mengajar yang tersedia.
Gulo (2005:8) mengemukakan, mengajar adalah usaha untuk menciptakan sistem lingkungan yang memungkinkan terjadinya proses belajar secara optimal.            Suyahman (2006:60-61) mengemukakan, pengajaran sama artinya dengan kegiatan mengajar. Kegiatan mengajar dilakukan oleh guru untuk menyampaikan berbagai pengetahuan kepada siswa. Dalam konsep ini guru bertindak dan berperan aktif. Pengajaran sama artinya dengan perbuatan mengajar.
Pengajaran merupakan interaksi mengajar dan belajar. Pengajaran berlangsung sebagai suatu proses saling mempengaruhi dalam bentuk hubungan interaksi antara guru dan siswa. Guru bertindak sebagai pengajar, sedangkan siswa bertindak sebagai yang melakukan   perbuatan  belajar.  Guru dan siswa menunjukkan keaktifan yang seimbang meskipun masing-masing mempunyai peranan yang berbeda tetapi terkait satu sama lain.    
Proses pengajaran berlangsung dalam situasi tertentu yaitu situasi belajar mengajar. Dalam situasi ini terdapat berbagai komponen yang saling berkaitan, seperti tujuan, siswa yang belajar, guru yang mengajar, bahan yang diajarkan, metode mengajar, alat bantu mengajar, prosedur penilaian, dan situasi pengajaran. Dalam proses pengajaran tersebut, semua komponen bergerak secara dinamis dalam rangkaian yang terarah dalam rangka membawa para peserta didik untuk mencapai tujuan pengajaran. Pengajaran merupakan suatu pola yang di dalamnya tersusun suatu prosedur yang direncanakan dan terarah serta bertujuan.
Suatu proses pembelajaran memerlukan strategi tertentu agar tercipta pembelajaran yang efektif, efisien dan menyenangkan. Secara umum strategi mempunyai pengertian suatu garis-garis besar haluan untuk bertindak dalam usaha mencapai sasaran yang telah ditentukan. Strategi bisa diartikan sebagai pola-pola umum kegiatan guru – anak didik dalam perwujudan kegiatan belajar mengajar untuk mencapai tujuan yang telah digariskan (Bahri dan Zain, 2002: 5). Dengan kata lain, strategi belajar mengajar merupakan sejumlah langkah yang direkayasa sedemikian rupa untuk mencapai tujuan pengajaran tertentu (Pupuh dan. Sobry, 2007: 3).
Ada empat strategi dasar dalam belajar mengajar yang meliputi : (1) mengidentifikasi serta menetapkan spesifikasi dan kualifikasi perubahan tingkah laku dan kepribadian anak didik sebagaimana yang diharapkan, (2) memilih   sistem  pendekatan   belajar    mengajar   berdasarkan    aspirasi  dan pandangan hidup masyarakat, (3) memilih dan menetapkan prosedur, metode dan teknik belajar  mengajar  yang dianggap paling tepat dan efektif sehingga dapat dijadikan pegangan oleh guru dalam menunaikan kegiatan mengajarnya, dan (4) menetapkan norma-norma dan batas minimal keberhasilan atau kriteria serta standar keberhasilan sehingga dapat dijadikan pedoman oleh guru dalam melakukan evaluasi hasil kegiatan belajar mengajar yang selanjutnya akan dijadikan umpan balik terhadap penyempurnaan sistem instruksional yang bersangkutan secara keseluruhan.
Para pakar teori belajar mengembangkan strategi pembelajaran berdasarkan pandangannya masing-masing. Menurut Suyahman (2006:187), secara garis besar ada empat pembelajaran yang harus diketahui guru.
a.    Pembelajaran Penerimaan (Reception Learning)
Pendukung utama pendekatan ini adalah Ausabel. Pendekatan ini   dapat disebut dengan proses informasi, yang kemudian dikembangkan menjadi strategi ekspositif  dengan 4 langkah pokok .
1)     Penyajian informasi yang diberikan melalui penjelasan simbolik atau demonstrasi yang praktis
2)     Mengetes penerimaan, ungkapan dan pemahaman siswa
3)     Menyediakan kesempatan kepada siswa untuk menerapkan prinsip umum sebagai latihan, dengan contoh tertentu
4)     Menyediakan kesempatan kepada siswa untuk menerapkan informasi yang telah dipelajari ke dalam situasi nyata.
b.   Pembelajaran Penemuan ( Discovery Learning)                  
Pendukung utama kegiatan ini adalah Piaget dan Bruner, yaitu penganut  Psikologi  Kognitif  dan  Humanistik.  Belajar  penemuan ini juga disebut “Proses Pengalaman”, yang kemudian dikembangkan menjadi strategi inquiry-discovery dengan empat langkah pokok.
1)     Menyajikan kesempatan kepada siswa untuk melakukan tindakan / perbuatan dan mengamati konsekuensi dari tindakan tersebut.
2)     Menguji pemahaman siswa mengenai hubungan sebab-akibat dengan cara mempertanyakan atau mengamati reaksi-reaksi siswa, selanjutnya menyajikan kesempatan-kesempatan lainnya.
3)     Mempertanyakan atau mengamati kegiatan selanjutnya, serta menguji susunan prinsip umum yang mendasari masalah yang disajikan itu.
4)     Pelayanan berbagai kesempatan baru guna menerapkan hal yang baru saja dipelajari ke dalam situasi atau masalah-masalah yang nyata.
c.    Pembelajaran Penguasaan ( Mastery Learning)
Pendukung utama pendekatan ini adalah Carrol, yang memadukan teori behavioristik dan humanistik. Belajar tuntas adalah strategi pembelajaran yang yang diindividualisasikan dengan menggunakan pendekatan kelompok (group-based approach). Pendekatan ini memungkinkan para siswa belajar secara bersama-sama dengan memperhatikan   bakat   dan  ketekunan  siswa, pemberian  waktu yang cukup, dan bantuan bagi siswa yang mengalami kesulitan. Ada empat langkah yang harus ditempuh dalam pembelajaran penguasaan.
1)     Mengajarkan satuan pelajaran pertama dengan menggunakan metode kelompok
2)     Memberikan tes diagnostik untuk memeriksa kemajuan belajar siswa setelah disampaikan satuan pelajaran tersebut, untuk mengetahui tingkat penguasaan materi oleh masing-masing siswa
3)     Siswa yang telah memenuhi kriteria keberhasilan yang telah ditetapkan diperkenankan menempuh pengajaran berikutnya Sedangkan siswa yang belum berhasil, diberikan kegiatan kognitif
4)     Melakukan pemeriksaan akhir untuk mengetahui hasil belajar yang telah dicapai oleh siswa dalam jangka waktu tertentu.
d.   Pembelajaran terpadu (Unit Learning)
Pendekatan ini pada mulanya disebut dengan metode proyek yang dikembangkan oleh Dr. John Dewey, dan orang pertama yang menggunakan istilah unit adalah Morisson. Pendekatan pembelajaran terpadu (Unit Learning) berpangkal pada teori psikologi Gestalt.
Pembelajaran terpadu adalah suatu sistem pembelajaran yang bertitik tolak dari suatu masalah atau proyek, yang dipelajari / dipecahkan oleh siswa baik secara kelompok dengan metode yang bervariasi dan dengan bimbingan guru guna mengembangkan pribadi siswa secara utuh dan terintegrasi. Ada lima langkah pokok strategi pembelajaran terpadu.
1)     Mengorientasikan siswa kepada masalah / topik yang akan dipelajari dalam kelas, secara langsung atau melalui media pembelajaran yang relevan
2)     Memberikan kesempatan kepada siswa untuk mencari dan mengumpulkan informasi untuk memecahkan masalah
3)     Memberi kesempatan kepada siswa untuk menggunakan informasi tadi dalam praktek penerapan di lapangan
4)     Mengadakan diskusi dan pembuatan laporan sebagai kegiatan kulminasi
5)     Melakukan evaluasi terhadap kemajuan belajar siswa, baik oleh guru, mandiri, maupun siswa membicarakan tindak lanjut untuk kegiatan unit selanjutnya.
Seiring dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, diperlukan pengembangan dari empat pendekatan tersebut menjadi pendekatan yang  interaktif.  Model   pembelajaran interaktif dimaksudkan sebagai alternatif pembelajaran yang dapat dipilih oleh guru sesuai dengan kemampuan siswa, kemampuan guru, lingkungan sekolah, dukungan masyarakat serta tersedianya sarana dan prasarana sekolah yang cukup memadai. Salah satu model pembelajaran interaktif yang diterapkan guru dalam pembelajaran adalah pembelajaran dengan menggunakan pendekatan CTL.

Sunday 3 April 2011

KONSEP BELAJAR DAN PEMBELAJARAN

Belajar adalah proses perubahan perilaku berkat pengalaman dan latihan (Bahri dan Zain, 2002: 11). Artinya, tujuan kegiatan adalah perubahan tingkah laku, baik yang menyangkut pengetahuan, ketrampilan maupun sikap, bahkan meliputi segenap aspek organisme atau pribadi. Jadi hakekat belajar adalah perubahan.
Menurut Dimyati dan Mudjiono (2006:156), belajar adalah proses melibatkan manusia secara orang per-orang sebagai satu kesatuan organisme sehingga terjadi perubahan pada pengetahuan, keterampilan, dan sikap. Hakekat belajar adalah perubahan dalam tingkah laku si subyek dalam situasi tertentu berkat pengalamannya yang berulang-ulang, dan perubahan tingkah laku tersebut tidak dapat dijelaskan atas dasar kecenderungan respon bawaan, kematangan atau keadaan temporer dari subyek.
Berbagai pengertian di atas  menunjukkan bahwa belajar pada hakekatnya adalah perubahan tingkah laku dari seseorang yang menyangkut pengetahuan, ketrampilan dan sikap. Belajar merupakan peningkatan kemampuan kognitif, afektif dan psikomotorik menjadi lebih baik. Dengan belajar diharapkan peserta didik dapat tumbuh menjadi manusia dewasa yang bertanggung jawab, baik terhadap dirinya, lingkungannya maupun masyarakat di sekitarnya.Pembelajaran adalah suatu sistem yang terdiri atas komponen input, proses, output dan outcome ( Suwarna, 2006:34).
Komponen input sistem pembelajaran dapat berupa siswa, materi, metode, alat, media pembelajaran, dan perangkat-perangkat pembelajaran yang lain. Komponen proses berupa tempat dan aktivitas berinteraksinya berbagai input, baik raw input, instrumental input, maupun environmental input. Output merupakan cerminan langsung maupun tidak langsung dari proses pembelajaran yang berlangsung. Output pembelajaran dapat berupa prestasi belajar, perubahan sikap, perilaku, skor atau nilai penguasaan materi suatu mata pelajaran. Outcome dalam sistem pembelajaran merupakan dampak dihasilkannya output. Jadi outcome merupakan ukuran kebermaknaan output.
Banyak pengertian, teori dan prinsip-prinsip belajar dan pembelajaran yang dikemukakan oleh para ahli yang masing-masing mempunyai persamaan dan perbedaan. Dari berbagai prinsip belajar tersebut terdapat beberapa prinsip yang relatif berlaku umum yang dapat kita jadikan pedoman dalam upaya pembelajaran, baik bagi siswa yang perlu meningkatkan upaya belajarnya maupun bagi guru dalam upaya meningkatkan mengajarnya (Dimyati dan Mudjiono, 2006:42-50
Prinsip-prinsip belajar dan pembelajaran berkaitan dengan : (1) perhatian dan motivasi, (2) keaktifan, (3) keterlibatan langsung, (4) pengulangan, (5)  tantangan,   (6)   balikan   dan  penguatan,   serta    (7) perbedaan    individual.
Implikasi dari prinsip-prinsip belajar bagi siswa dan guru tampak dalam setiap kegiatan perilaku mereka selama proses pembelajaran berlangsung. Siswa sebagai motor utama dalam kegiatan pembelajaran tidak dapat mengabaikan begitu saja adanya prinsip-prinsip belajar. Siswa akan berhasil dalam pembelajaran jika mereka menyadari implikasi prinsip-prinsip belajar dalam diri mereka.
Guru sebagai penyelenggara dan pengelola kegiatan pembelajaran tidak boleh meninggalkan prinsip-prinsip belajar. Implikasi prinsip-prinsip belajar oleh guru tampak pada rencana pembelajaran maupun pelaksanaan kegiatan pembelajarannya. Implikasi ini terwujud dalam perilaku fisik dan psikis mereka. Kesadaran adanya prinsip-prinsip belajar yang terwujud dalam perilaku guru diharapkan dapat meningkatkan kualitas pembelajaran yang dilaksanakan.
 Paradigma pembelajaran di persekolahan telah banyak mengalami perubahan, hal ini seiring dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Perubahan tersebut di antaranya dari proses pembelajaran yang bersifat behavioristik menjadi yang bersifat konstruktivisme ( Suyahman, 2006:187).
Siswa belajar berarti menggunakan berbagai kemampuan terhadap lingkungannya. Ada beberapa ahli yang mempelajari ranah-ranah atau kemampuan tersebut  Ranah tujuan pendidikan berdasarkan hasil belajar siswa secara    umum   diklasifikasikan   menjadi   tiga,  yaitu : ranah kognitif,  ranah afektif dan ranah psikomotorik (Davies, Jarolimek, dan Foster dalam Dimyati dan Mudjiono, 2006: 201).
Dimyati dan Mudjiono (2006: 26-30) menguraikan bahwa ranah kognitif  terdiri dari enam jenis perilaku : (1) pengetahuan, (2) pemahaman, (3) penerapan, (4) analisis, (5) sintesis, dan (6) evaluasi. Keenam jenis perilaku itu bersifat hierarkis, artinya perilaku pengetahuan tergolong terendah, dan perilaku evaluasi adalah yang tertinggi. Perilaku yang terendah merupakan perilaku yang “harus” dimiliki terlebih dahulu sebelum mempelajari perilaku yang lebih tinggi.
Ranah afektif terdiri dari lima perilaku : (1) penerimaan, (2) partisipasi, (3) penilaian dan penentuan sikap, (4) organisasi, dan (5) pembentukan pola hidup. Kelima jenis perilaku tersebut juga bersifat hierarkis. Perilaku penerimaan merupakan jenis perilaku terendah dan perilaku pembentukan pola hidup merupakan jenis perilaku tertinggi.
       Ranah psikomotorik terdiri dari tujuh jenis perilaku : (1) persepsi, (2) kesiapan, (3) gerakan terbimbing, (4) gerakan yang terbiasa, (5) gerakan kompleks, (6) penyesuaian pola gerakan, dan (7) kreatifitas. Ketujuh jenis perilaku tersebut mengandung urutan taraf keterampilan yang berangkaian. Kemampuan-kemampuan tersebut merupakan urutan fase-fase dalam proses belajar motorik. Belajar kemampuan-kemampuan psikomotorik, belajar berbagai kemampuan gerak dapat dimulai dengan kepekaan memilah-milah sampai dengan kreatifitas pola gerak baru. Hal ini menunjukkan bahwa kemampuan    psikomotorik     mencakup    kemampuan    fisik   dan mental.

Friday 1 April 2011

ILMU PENDIDIKAN & PENDIDIKAN DI INDONESIA


Hingga saat ini belum ada akademisi yang secara tekun menggeluti pendidikan melalui penelitian dan mengeluarkan karya reflektif tentang pendidikan yang lahir dari konteks sosial budaya Indonesia. Hanya Ki Hajar Dewantara yang berusaha untuk itu. Begitu juga RA Kartini yang memiliki konsep pendidikan radikal. Kini praktis tak ada yang melakukan seperti dilakukan kedua tokoh itu. Yang ada hanyalah karya kompilatif, tidak berangkat dari studi yang mendalam. Akhirnya, ilmu pendidikan mengalami kemandegan karena kurang tertarik pada perspektif kritis.
Keadaan ilmu pendidikan di Indonesia sejauh ini memang tidak menggembirakan. Mengutip Mochtar Buchori, bahwa segenap kegiatan belajar yang dilakukan di sekolah-sekolah selama ini merupakan penerapan konsep apa yang disebut dengan maintenance learning. Kegiatan belajar yang dilakukan hanya untuk mempertahankan apa yang sudah ada dalam masyarakat dan kebudayaan kita, yang kita miliki sebagai suatu warisan kultural. Jadi, ilmu pendidikan mengidap esensialisme budaya, tidak mengembangkan konstruktivisme budaya, yang berasumsi bahwa semuanya perlu ditafsir secara dinamis.

TEORI PENDIDIKAN DAN ILMU PENDIDIKAN
Secara umum, teori diartikan sebagai suatu set atau system pernyataan (a set of statement) yang menjelaskan serangkaian hal. Ada tiga karakteristik utama system pernyataan suatu teori. Pertama, pernyataan dalam suatu teori bersifat memadukan (uniflying statement). Kedua, pernyataan tersebut berisi kaidah-kaidah umum (universal preposition). Ketiga, pernyataan bersifat meramalkan (predictif statement). Ada tiga fungsi teori, yaitu :  1) mendeskripsikan, 2) menjelaskan, dan 3) memprediksi.  Brodbeck (1963, hlm.70) menambahkan fungsi lain : “ A theory not only explains and predict, it also unifies phenomena”. Khusus dalam penelitian, Gawin (1963) mengemukakan fungsi teori sebagai : “…the theory help the researcher to analyze data to make shorthand summarization or synopsis of data and relations, and to sugest new thing to try out”.
Pendidikan merupakan suatu ilmu terapan (applied science), yaitu terapan dari ilmu atau disiplin lain terutama filsafat, psikologi, sosiologi, dan humanitas. Sebagai ilmu terapan, perkembangan ilmu pendidikan berasal dari pemikiran-pemikiran filosofis-teoretis, penelitian empiris dalam praktek pendidikan. Dengan latar belakang seperti ini, beberapa ahli menyatakan bahwa ilmu pendidikan merupakan “ilmu yang belum jelas”. Hal itu diperkuat dengan kenyataan bahwa cukup sulit untuk dapat merumuskan teori pendidikan (hal. 90). Teori-teori yang ada lebih menggambarkan pandangan filosofis, seperti teori pendidikan Langeveld, Kohnstam dan sebagainya, atau lebih menekankan pada pengajaran seperti teori Gagne, Skinner, dan sebagainya.
Boyles (1959) menyatakan bahwa teori pendidikan di Amerika Serikat berada dalam a state of suspended animation, penggunaannya masih tertangguhkan. Masih memerlukan waktu yang cukup lama untuk menampilkan dengan jelas teori pendidikan ini. Menurut Beauchamp (1975, hlm. 34), teori pendidikan akan atau dapat berkembang, tetapi perkembangannya pertama-tama dimulai dari sub-teorinya, seperti teori-teori dalam kurikulum, pengajaran, evaluasi, bimbingan konseling, dan administrasi pendidikan.
Antara teori dan praktek memang terdapat perbedaan, tetapi keduanya sangat berkaitan erat. Mengenai hal ini Beauchamp menjelaskan :
              Theory by nature is impractical. The world of practically around clusters of specific event. The world of theory derives from generalization law as axioms,  theorem explaining specific events and the relationships among them. (Beauchamp, 1975 : 35).
Walaupun terdapat perbedaan, keduanya tidak dapat dipisahkan. Teori menjadi pedoman bagi praktek dan praktek member umpan balik bagi pengembangan teori. Ada dua kategori teori, yaitu teori deskriptif dan teori preskriptif. Teori deskriptif terdiri atas serangkaian proposisi yang berinteraksi secara lagis. Dari proposisi-proposisi tersebut diturunkan secara deduktif informasi-informasi baru, juga dari proposisi-proposisi itu hubungan antara beberapa hal dirumuskan. Teori preskriptif terdiri atas serangkaian rencana kegiatan atau proposisi mengenai suatu kerangka masalah. Pengembangan teori deskriptif berhubungan dengan pendekatan ilmiah (scientific approach), sedangkan pengembangan teori preskriptif berhubungan dengan pendekatan atau teknik-teknik filosofis (techniques of philosophy).
Hugh C. Black dalam bukunya A Four-fold Classification of educational theories (1966) mengemukakan empat teori pendidikan, yaitu teori tradisional, teori progresif, teori hasil belajar, dan teori proses belajar. Teori pendidikan menekankan fungsi pendidikan sebagai pemelihara dan penerus warisan budaya, teori progresif memandang pendidikan sebagai penggali potensi anak-anak (anak menempati kedudukan sentral dalam pendidikan), teori hasil belajar mengutamakan hasil, dan teori proses belajar mengutamakan proses.
Teori pendidikan bukan saja berkembang melalui pemikiran-pemikiran filosofis atau preskriptif, tetapi juga dikembangkan melalui pengkajian-pengkajian ilmiah (teori deskriptif). Harry S. Broudy menyatakan perlunya suatu teori pendidikan yang utuh yang membentuk satu kesatuan (92). Teori pendidikan demikian sangat diperlukan mengingat hal-hal sebagai berikut.
  1. The present and projected konds of knowledge and personality trait required for citizenship,  vocation, and self development.
  2. A unified theory must be judicious about the latest development in learning theory and teaching technology.
  3. A unified theory has to provide for general and special education, for differences in ability and bent (Broudy, 1960 : 24).  Bersambung......