Friday 8 October 2010

Pendidikan Politik: Praksis Pendidikan Kewarganegaraan

PENDIDIKAN POLITIK PADA SISWA
SEKOLAH MENENGAH ATAS
(Kajian Fenomenologis tentang Interpresi  Siswa terhadap Pendidikan Politik)

A.       Pendahuluan
       Menciptakan warganegara yang dicita-citakan oleh setiap Negara di dunia merupakan hal yang sangat penting sehingga dibutuhkan suatu kebijakan  pendidikan  tertentu. Inti dari kebijakan pendidikan adalah hasil-hasil pendidikan yang optimal (Noeng Muhadjir, 2004 : v). 
       Pendidikan adalah upaya terprogram dari pendidik membantu subyek didik berkembang ke tingkat yang normatif lebih baik dengan cara yang normatif juga baik (Noeng Muhadjir, 2003: 9). Tujuan normatif bukan dimaksudkan agar semua perkembangan subyek didik mengarah ke nilai, melainkan dimaksudkan agar semua aktivitas ataupun upaya  terpogram apabila dimasuki kreteria nilai secara normatif tetap diterima. Hal ini berarti bahwa setiap program yang disajikan hendaknya telah mengimplikasikan nilai di dalamnya (Noeng Muhadjir, 2003: 10). 
       Alfian (1986: 235) mendefinisikan pendidikan politik  sebagai usaha yang sadar untuk mengubah proses sosialisasi politik masyarakat sehingga mereka memahami dan menghayati betul nilai-nilai yang terkandung dalam suatu sistem politik yang ideal yang hendak dibangun. Keberhasilan proses pendidikan politik pada suatu bangsa sangat dipengaruhi oleh institusi pendidikan, yaitu sekolah. Baik melalui pembelajaran atau proses belajar mengajar, kepemimpinan dan manajemen sekolah maupun kultur sekolah .
Hal yang sangat menarik tentang pendidikan politik ini adalah sekolah menengah, karena masa sekolah menengah adalah bagian dari masa hidup dimana psikologi maksimal dan perubahan sosial itu terjadi. Niemi Hepburn, 1995 dalam Prough (2008 : 4-5) berpendapat bahwa : “individuals probably experience more change in their political views between the ages of fourteen and twenty-five than at any other point in their lives”.
            T.H. Marshall (1950: 21) mengungkapkan bahwa anak-anak dan generasi muda merupakan citizen in the making, artinya generasi muda belum menjadi warga negara dalam arti yang sesungguhnya. Sehingga setiap negara harus berusaha melaksanakan nation and character building sebagai upaya melaksanakan pendidikan  untuk membentuk warga negara yang dicita-citakan.
           Terkait dengan masalah pendidikan politik di sekolah, penulis tertarik untuk melakukan penelitian di SMA Pangudi Luhur Santo Yosef Surakarta. Ketertarikan ini didasari adanya keunikan-keunikan di sekolah tersebut yang tidak dimiliki sekolah lain. Keunikan tersebut misalnya SMA Pangudi Luhur Santo Yosef Surakarta merupakan sekolah yang berciri khas Katholik, tetapi multi religi, multi etnik dan multikultur. Selain itu, lokasi SMA Pangudi Luhur Santo Yosef yang terletak di Surakarta semakin menarik untuk diteliti terkait dengan karakteristik sosial budaya Surakarta yang saling berkontroversi, yakni terkenal santun dan lembut tetapi bersumbu pendek.
       Untuk memahami fenomena tentang pendidikan politik di SMA tersebut, diperlukan kajian fenomenologis tentang pemaknaan (meaning) siswa  terhadap pendidikan politik.
B.       Kebermaknaan Pendidikan Politik
       Ada keterkaitan yang erat antara pendidikan dan pendidikan politik. Dewey dalam Democratic and Education (1916) menyatakan tentang  fungsi penting  pendidikan : ”Education is thus a fostering, a nurturing, a cultivating, process. All of these words mean that it implies attention to the conditions of growth.” Pendidikan juga merupakan  pembelajaran tentang kehidupan manusia di dalam beragam fungsi dan kebutuhan. Dalam pembelajaran terkandung upaya pemenuhan fungsi-fungsi sosial, ekonomi, politik, selain beragam kebutuhan material dan spiritual manusia (Steven M.Chan, 1979: xi).
       Adapun fungsi pendidikan menurut Noeng Muhadjir, (2003: 20) adalah : (1) menumbuhkan kreativitas subjek-didik, (2) memperkaya khasanah budaya manusia, memperkaya isi nilai-nilai insani dan nilai-nilai Illahi, (3) menyiapkan tenaga kerja produktif.
Terkait dengan masalah pendidikan politik, maka  fungsi pendidikan kedua yang dikemukakan oleh Noeng Muhadjir tersebut selaras dengan tujuan pendidikan untuk membentuk warga Negara yang baik. Warga Negara yang baik (good citizen) dalam perspektif global sebagaimana dikemukakan oleh Dynneson, Gross & Nickel (1989: 74) adalah sebagai berikut:  A “good citizen” is one who cares about the welfare of others,  is ethical in his dealing with others, is able to challenge and critically question ideas, proposal and suggestions, and in light of existing circumstances, is able to make good choices based upon good judgements.
Penulis berasumsi bahwa akibat pengalaman sejarah selama orde baru, ditambah dengan semakin melemahnya dukungan terhadap struktur-struktur politik yang ada pada system politik, masyarakat mengalami political alienation sebagai dampak dari tingginya tingkat political disaffection. Masyarakat mempunyai anggapan negative dan skeptic serta sinis terhadap politik, termasuk pendidikan politik. Padahal ada beberapa hal penting yang terkait dengan politik. Pertama, mau tidak mau kita tidak bisa lepas dari politik. Kedua, berbagai kesulitan yang dihadapi dunia modern tidak dapat dipecahkan dengan meninggalkan politik, tetapi mengadakan transformasi sedemikian rupa sehingga memungkinkan kita membentuk dan mengorganisir kehidupan secara efektif. Ketiga, sikap sinis dan skeptic terhadap politik bukan hal yang tak terhindari.
  Sampai saat ini menurut penulis, pendidikan politik melalui sekolah belum berhasil membentuk good citizens. Kriteria warga negara yang baik (good citizens) dalam perspektif global sebagaimana dikemukakan oleh Dynneson, Gross & Nickel (1989:74) adalah sebagai berikut.
A “good citizen” is one who cares about the welfare of others,  is ethical in his dealing with others, is able to challenge and critically question ideas, proposal and suggestions, and in light of existing circumstances, is able to make good choices based upon good judgements.

      Pendidikan politik bukan merupakan proses sederhana dan mudah. Gaffar (2006:119-120) berpendapat, bahwa secara umum, kegagalan pendidikan politik di Indonesia disebabkan tiga hal. Pertama, dalam masyarakat kita, anak-anak tidak dididik untuk menjadi insan mandiri. Kedua, tingkat politisasi sebagian terbesar masyarakat kita sangat rendah. Ketiga, setiap individu yang berhubungan secara langsung dengan Negara tidak mempunyai alternative lain kecuali mengikuti kehendak Negara, termasuk pendidikan politik di sekolah.
      Keberhasilan proses pendidikan politik pada suatu bangsa sangat dipengaruhi oleh institusi pendidikan, yaitu sekolah. Baik melalui pembelajaran atau proses belajar mengajar, kepemimpinan dan manajemen sekolah serta kultur sekolah . Hal ini sesuai dengan yang dikemukakan  Zamroni  (2001: 148), bahwa sekolah sebagai suatu sistem memiliki tiga aspek pokok yakni : proses belajar mengajar, kepemimpinan dan manajemen sekolah, serta kultur sekolah.
      Menurut Buchori (1995 : 127), secara metodologi, sosialisasi politik bisa dilakukan melalui dua hal yaitu pendidikan politik dan indoktrinasi politik. Untuk sosialisasi politik di Indonesia pada saat ini seharusnya mengarah pada pendidikan politik, bukan indoktrinasi politik sebagaimana yang pernah dilakukan pada orde lama dan orde baru. Materi pokok penyelenggaraan pendidikan politik tentang wawasan kebangsaan meliputi : 1) pilihan materi dari sejarah nasional, 2) pilihan materi dari situasi nasional kontemporer, 3) pilihan materi dari situasi dari beberapa negara lain, dan 4) pilihan materi dari berbagai proyeksi tentang masa depan.
      Pendidikan politik mempunyai makna sebagai  proses internalisasi nilai-nilai dan norma-norma dasar ideology  Negara guna menunjang kelestarian Pancasila dan UUD 1945 sebagai budaya politik bangsa demi tetap tegaknya Negara Kesatuan Republik Indonesia. Dalam Negara plural, pendidikan politik dapat mencegah konflik yang mengancam dis integrasi bangsa dan dapat mengatasi ketidakpercayaan masyarakat terhadap politik. Pendidikan politik dapat meningkatkan partisipasi politik warganegara, dapat membangun mekanisme baru integritas nasional. serta dapat mempertebal semangat cinta tanah air yang semakin memudar di kalangan masyarakat.
      Namun pemaknaan pendidikan politik tersebut  bisa berbeda dengan pemaknaan oleh siswa. Mereka bisa mempunyai interpresi sendiri, misalnya apa konsep pendidikan politik, seperti apa seharusnya pendidikan politik dilaksanakan, mengapa perlu pendidikan politik, bagaimana model pendidikan politik, siapa saja sasaran pendidikan politik, siapa agen pendidikan politik, dan sebagainya.
      Sekolah sebagai agen pendidikan politik diharapkan dapat menunjang pencapaian tujuan pembangunan politik, yakni peningkatan partisipasi warganegara dalam proses politik dan membangun mekanisme baru integritas nasional. Dengan demikian diharapkan akan tercipta suatu system politik yang kondusif yang sesuai dengan landasan falsafah Negara, yaitu Pancasila.
      Untuk memperoleh hasil yang optimal dan sesuai dengan tujuan penelitian, perlu disusun suatu kerangka konseptual yang nantinya dapat digunakan sebagai petunjuk dan arah bagi kajian-kajian teori yang dilakukan sebelumnya. Kerangka konseptual tersebut bisa dilihat pada gambar berikut. (Wah...sayangnya saya belum bisa naruh gambar'nya. Maklum...masih baru belajar. Masih harus belajar lagi & barangkali ada yg mo berbaik hati ngajari.)

C.     Metode Penelitian
Paradigma penelitian yg digunakan adalah penelitian kualitatif karena penelitian ini memandang kenyataan sebagai sebuah keutuhan makna yang tidak dapat dipecah-pecah dalam variabel. Kejadian-kejadian dalam ruang dan waktu merupakan satuan-satuan penyusun kenyataan yang ada (Kattsoff, 1996 : 216).
Hal ini sesuai dengan pendapat Marshall dan Rossman (1989), yang menyatakan bahwa untuk meneliti suatu proses diperlukan pendekatan kualitatif. Selain itu, penggunaan pendekatan ini dimaksudkan untuk memahami perilaku manusia dari kerangka acuan si pelaku sendiri, yakni bagaimana si pelaku memandang dan menafsirkan kegiatan dari segi pendiriannya yang biasa disebut “persepsi emic” (Nasution, 196: 32; Hakim, 1997: 26).
Tentang paradigm penelitian kualitatif ini Noeng Muhadjir (1994: 12),  mengemukakan ada beberapa nama yang dipergunakan para ahli tentang metodologi  penelitian kualitatif yaitu: grounded research, ethnometodologi, paradigma naturalistic (fenomenologi), interaksi simbolik, semiotik, heuristik, hermeneutik, atau holistik . perbedaan tersebut dimungkinkan karena perbedaan titik tekan dalam melihat permasalahan serta latar brlakang disiplin ilmunya
Penelitian ini menggunakan pendekatan phenomenology karena mempelajari peristiwa cultural yang menjadikan pandangan hidup subjek yang menjadi objek studi. Phenomenology yang digunakan adalah  model Focus Groups  yang mengangkat pendapat grass root, dikembangkan menjadi ada intervensi peneliti kepada grass root (Noeng Muhadjir, 2007: 202-203).
Secara teknis, model focus groups dilakukan dengan membentuk organisasi small groups, yaitu dengan cara membuat intervensi langsung lewat pimpinan kelompok kecil 4 atau 8 siswa yang terpilih sebagai grass root untuk menyampaikan ide-ide pembaharuan tentang pendidikan politik di sekolah mereka. Intervensi ini dilakukan dalam bentuk text reading dan/atau ceramah dan diskusi berkelanjutan dengan individu dan kelompok terpilih sebagai representasi grass root hingga terjadi kesepakatan.
D.       Penutup.
Untuk memperoleh data awal, peneliti telah melakukan pra survey di SMA Pangudi Luhur Santo Yosep dengan metode observasi dan wawancara. Observasi dilakukan pada aspek manajemen kepala sekolah dan kultur sekolah, sedangkan wawancara dilakukan pada aspek proses belajar mengajar. Peneliti telah mewawancarai seorang guru PKn dan dua orang siswa yang beretnik Jawa dan Tionghoa sebagai responden. Dengan memahami pemaknaan siswa terhadap pendidikan politik, maka peneliti bisa memfasilitasi sekolah ke arah internalisasi nilai dalam diri siswa ke arah pemaknaan yang lebih objektif (proporsional), yaitu  bahwa pendidikan politik sangat dibutuhkan demi stabilitas dan tetap tegaknya Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Daftar Pustaka

Alfian (1986). Pemikiran dan Perubahan Politik Indonesia. Jakarta : CV Rajawali

Bogdan & Robert C. 1982. Qualitative Research for Education : An Introduction to theory and Methods. Inc. Boston London Sydney Toronto : Allyn and Bacon.

Dawson, Richard E., Kenneth Prewitt, and Karen S.Dawson. 1977. Political Socialization. Boston : Little, Brown.

Dennis, Jack, ed. Socialication to Politics. 1973. New York : John Wiley.

Easton, David and Jack Dennis. 1969. Children in the Political System. New York : McGraw-Hill

Hyman, Herbert H. 1959. Political Socialization. New York : The Free Press.

Marshall, T.H. (1950). Citizenship and Social Class and Other Essays. Cambridge: Cambridge University Press.

Muhadjir, Noeng. (2003). Ilmu Pendidikan dan Perubahan Sosial. Edisi V.  Yogyakarta: Rake Sarasin

Muhadjir, Noeng.  (2007). Metodologi Keilmuan Paradigma Kualitatif, Kuantitatif dan Mixed. Edisi V. Yogyakarta : Rake Sarasin

Muhadjir, Noeng.  (2006). Filsafat Ilmu Kualitatif dan Kuantitatif untuk Pengembangan Ilmu dan Penelitian. Yogyakarta : Rake Sarasin

Muhadjir, Noeng.  (2009). Revitalisasi Ontologik Ideologi Pendidikan Implikasi dan Implementasinya. Hand Out Mata Kuliah Fenomenologi Pendidikan.

Zamroni. 2008. “Demokrasi dan Pendidikan dalam Transisi: Perlunya Reorientasi Pengajaran Ilmu-Ilmu Sosial di Sekolah Menengah

No comments:

Post a Comment